MOHON MAAF BLOG INI MASIH DALAM MASA PEMBUATAN TERIMA KASIH

cek aja

KEJAHATAN DAN DEMORALISASI UMAT MANUSIA

A. Tinjauan Teoritis Kejahatan Umat Manusia

Individu disebut tidak bermoral (amoral) saat ia tidak mampu memberikan penghargaan (respect) terhadap dirinya sendiri dan orang lain dalam perilaku kehidupan sehari-hari. Para psikolog melihat penyimpangan perilaku individu yang berbeda dengan norma umumnya ini sebagai suatu “deviant behavior”, atau “delinquent”, misalnya ketika seseorang mempunyai tingkat agresifitas (aggressive) yang amat tinggi disertai perilaku yang merusak (destructive) (Wade and Tavris, 1990). Bentuk penyimpangan lainnya adalah ketika individu mempunyai perilaku yang sangat berlawanan dengan lingkungannya sehingga disebut perilaku antisosial (antisocial behavior), dimana sifat merusak terhadap lingkungan sangat dominan, misalnya pada tingkat ringan dengan melakukan coret-coretan di tempat umum (graffiti), pada tingkat menengah dengan menganiaya orang lain, atau pada tingkat berat dengan membunuh makhluk hidup lainnya tanpa rasa iba. Dengan kata lain penyimpangan perilaku yang melawan nilai, norma dan hukum ini dikenal sebagai suatu kejahatan (crime).

Peperangan antara kebaikan dengan kejahatan telah berlangsung cukup lama melalui periode pra modern, modern dan post modern saat ini. Pembunuhan paling primitif pun telah dilakukan sejak periode Nabi Adam hingga pembunuhan Nabi Isa pada periode kekaisaran Romawi. Kejahatan dan keborokan manusia juga telah didokumentasikan oleh gereja katolik dan berbagai penulis misalnya Dante atau C.S. Lewis yang menggolongkannya sebagai the capital of sin atau the seven deadly sin. Dosa-dosa manusia ini meskipun dalam Bible terserak dan bukan merupakan daftar yang formal namun dapat digolongkan pada tujuh jenis yaitu sloth (malas), pride (membanggakan diri), gluttony (rakus), greed (ketamakan) , envy (iri), , lust (nafsu, birahi) dan wrath (amarah). Sementara itu kebajikan (virtue) sebagai perlambang dari lawan the seven sin masing-masing adalah zeal (semangat), humility (kerendahan hati), faith and temperance (kepercayaan, kesederhanaan, pantangan minuman keras), generosity (dermawan), love (cinta), self control (kontrol diri), dan kindness (kebaikan,kelembutan)

Dalam pandangan Nicolo Machiavelli (1469-1527) manusia itu pada dasarnya adalah penipu, rakus, tidak pernah terpuaskan dan serakah. Sementara itu Thomas Hobes (1588-1679) , mengatakan bahwa manusia itu mempunyai sifat dasar yang mementingkan egonya sendiri dan merupakan musuh bagi manusia lainnya (homo homini lupus)

Bapak Psikologi dinamika seperti Freud (1856-1939) memandang bahwa manusia itu bertingkahlaku atas dasar motif yang berada dalam pikiran alam bawah sadar (unconscious mind), sehingga seringkali manusia berbuat kejahatan atas pikiran yang tidak disadarinya. Sebagai bapak psiko-sexual, Freud memandang bahwa tingkah laku manusia terjadi atas dasar dorongan seksual (sexual drive) yang mengarah kepada prinsip kesenangan (pleasure principle) yang dikendalikan oleh id-nya masing-masing. Sementara itu ego manusia memberikan pertimbangan terhadap tingkah laku manusia atas dasar prinsip realitas (reality principle), sedangkan super ego memberikan pertimbangan terhadap tingkah laku manusia atas dasar prinsip moral (morality principle) (Wade and Tavris, 1992; Craig, 1986; Ross and Vasta, 1990). Ini berarti bahwa kadar id, ego dan super ego setiap manusia berbeda-beda, sehingga manusia yang cenderung pada kejahatan akan memainkan id-nya lebih dominan, sementara manusia yang cenderung pada kebaikan akan memainkan super-egonya lebih dominan. Idenya yang kontroversial adalah cara pandangnya terhadap perilku manusia yang menurutnya didasarkan oleh keinginan yang tidak disadari (unconscious desires) dan pengalaman masa lalu manusia berupa sexual desires dan sexual expression pada masa kanak-kanaknya.

Secara spiritual maka kejahatan merupakan suatu bukti atas ketidakmampuan manusia untuk mengendalikan nafsu (desires atau nafs), motif (motives) dan alam bawah sadar (unconscious mind) yang secara naluriah dimiliki oleh setiap manusia. Dalam pandangan agama kemenangan iblis atas manusia seringkali dijadikan simbol kemenangan kejahatan, dimana hilangnya nurani (conscience) dan lemahnya moral manusia merupakan hal yang menyebabkan terjadinya kejahatan pada umat manusia. Padahal manusia juga memiliki nurani dan moral sebagai simbol kebaikan (the basic goodness) yang secara naluriah dimiliki oleh setiap manusia. Hal ini tentu menimbulkan pertanyaan, yang pertama adalah apakah yang menyebabkan manusia melakukan kejahatan, dan pertanyaan berikutnya adalah apakah kejahatan merupakan kesalahan dari inividunya ataukah merupakan kesalahan dari sistem dimana individu itu berada ?

B. Meluasnya Kejahatan dan Demoralisasi Umat Manusia

Ada beberapa indikator yang digunakan untuk melihat adanya kejahatan dan demoralisasi umat manusia yang kemudian dijadikan ukuran bagi perkembangan kualitas kehidupan suatu bangsa. Menurut Thomas Lickona (1992) terdapat sepuluh tanda dari perilaku manusia yang menunjukkan arah kehancuran suatu bangsa yaitu: meningkatnya kekerasan di kalangan remaja, ketidakjujuran yang membudaya, semakin tingginya rasa tidak hormat kepada orangtua, guru dan figur pemimpin, pengaruh peer group terhadap tindakan kekerasan, meningkatnya kecurigaan dan kebencian, penggunaan bahasa yang memburuk, penurunan etos kerja, menurunnya rasa tanggungjawab individu dan warga negara, meningginya perilaku merusak diri dan semakin kaburnya pedoman moral.

Kejadian tawuran di Indonesia, misalnya, begitu sering terjadi pada remaja di kota besar Indonesia, terutama di Kota Jakarta dan Bogor sehingga telah berada pada tahap yang mengkhawatirkan, dan telah memakan korban jiwa para remaja yang seharusnya menjadi penerus bangsa. Di Bogor saja, telah dilaporkan bahwa terjadinya tawuran seringkali merupakan aktivitas yang direncanakan sehingga termasuk kejahatan yang terencana, dimana para pelajar ini membawa senjata tajam aneka bentuk mulai dari gir sepeda, payung berbentuk pisau, golok, samurai, clurit dan berbagai benda berbahaya lain untuk menganiaya musuhnya dengan sengaja (Dina, Puspita, Tanjung dan Widiastuti, 2001). Di antara mereka bahkan melakukan penganiayaan hingga menewaskan lawannya dengan perasaan tidak bersalah dan berdosa.

Sementara itu kejadian seks di luar pernikahan juga telah menjadi trend di kalangan remaja didorong oleh makin maraknya penyebaran kaset VCD, situs porno, dan penggunaan narkoba serta minuman alkohol yang meluas sampai ke pedesaan. Disamping itu etos kerja yang buruk, rendahnya disiplin diri dan kurangnya semangat untuk bekerja keras, keinginan untuk memperoleh hidup yang mudah tanpa kerja keras, nilai materialisme (materialism, hedonism) menjadi gejala yang umum dalam masyarakat. Hal ini tercermin pada tingginya praktek-praktek korupsi, kolusi dan nepotisme yang terjadi di Indonesia, khususnya pada lembaga pemerintahan sehingga mendapatkan gelar negara terkorup di dunia sesuai laporan PERC pada tahun 2002

C. Akar Permasalahan Demoralisasi

Dalam pandangan ideologis seperti Marx tentu saja kejahatan dan kriminalitas ini dihubungkan dengan ketidakadilan sistem yang berakar dari permasalahan ketimpangan atau diskriminasi dalam relasi produksi antara kelas borjuis dan kelas proletar. Penindasan yang dibuat kaum borjuis atas kaum proletar, penindasan laki-laki atas perempuan atau penindasan kelas elite atas kelas bawah merupakan pencetus kemarahan dan konflik yang menjadi pendorong kejadian kriminalitas. Karenanya untuk memperbaiki kondisi ini maka masyarakat tanpa kelas (class-less society) merupakan solusi yang ditawarkan. Marx dan pengikutnya (Marxis) percaya bahwa dengan perubahan sistem yang mendasar dalam kehidupan dengan menciptakan masyarakat yang egaliter dan tanpa kelas dan persamaan di semua bidang akan menghilangkan kecemburuan yang menjadi pemicu terjadinya kejahatan. Menurut Marxis adanya sistem patriarkhi yang membuat masyarakat terbagi atas struktur merupakan sistem yang memungkinkan terjadinya relasi yang tidak harmonis antara kelas atas sebagai penguasa sumberdaya, dan kelas bawah sebagai buruh. Sebaliknya mereka melihat bahwa sistem kapitalisme yang membuat masyarakat terbagi atas struktur atas dan bawah merupakan ladang subur terjadinya penindasan oleh kelas penguasa terhadap buruh. Dalam pandangan mereka ketimpangan atau gap penguasaan sumberdaya yang tinggi antar kelas inilah yang menimbulkan kemarahan dan menjadi pemicu mengapa di negara kapitalis seperti AS angka kriminalitas menjadi begitu tinggi.

1. Kelemahan Institusi Keluarga

Tinjauan teori keluarga memiliki cara pandang yang berbeda dalam melihat penyebab kriminalitas dan demoralisasi dalam masyarakat. Dalam pandangan mereka keluarga tidak lagi menjadi wadah yang dapat menumbuhkembangkan karakter manusia karena permasalahan yang dialami oleh pasangan suami dan istri itu sendiri, disamping adanya tekanan dari lingkungan luar keluarga termasuk dari media massa dan bekerjanya kaum perempuan di sektor publik. Menurut Bronfenbrenner dalam teorinya tentang family ecology and the child development dinyatakan bahwa anak merupakan suatu bagian dari sistem keluarga yang pertumbuhan dan perkembangannya mendapatkan pengaruh terutama dari keluarga kemudian dari lingkungan luar keluarga, mulai dari lingkungan mikro, lingkungan messo, lingkungan exo dan lingkungan makro. Sehingga penyimpangan yang terjadi pada individu merupakan suatu hasil pengaruh sistem keluarga dan lingkungan luarnya ini.

Menurut Brooks dan Goble, keluarga Amerika berubah setelah perang dunia ke dua (PDII) berakhir. Pada era sebelum PD II wanita umumnya merupakan ibu rumahtangga sementara suami bekerja di sektor pertanian, sehingga ketika pecah perang dan keluarga harus bertahan hidup maka perempuan mulai bekerja di luar rumah untuk menggantikan peran suami yang pergi ke medan perang. Kedatangan para suami dari perang kemudian melahirkan banyak bayi (dikenal sebagai baby boom), sementara kaum ibu tidak berniat kembali ke rumah dan meneruskan kerja di luar rumah bahkan ke sektor industri yang jenis pekerjaannya lebih formal. Fenomena inilah yang mulai merubah keluarga Amerika yang ditandai dengan tingginya tingkat perceraian setelah era ini.

Ahli lain menganggap bahwa kemiskinan moral juga berkaitan dengan kemiskinan (poverty), dimana kasus kejahatan dan kriminalitas relatif lebih tinggi resiko nya karena alasan kemiskinan. Tetapi setelah program-program anti kemiskinan (poverty aveliation) ternyata juga tidak menurunkan angka kejahatan, maka faktor penyebabnya terus dicari. Seperti diungkapkan oleh Fagan (1995) , bahwa terjadinya kriminalitas harus dilihat pada akar permasalahannya. Menurut Fagan, bukti-bukti telah menunjukkan bahwa tingginya angka kriminalitas di Amerika Serikat pada tahun 1990-an bukanlah berakar dari kemiskinan semata. Yang lebih menjadi penyebab adalah adanya ketidakstabilan keluarga dalam masyarakat Amerika, dimana perceraian meningkat, keluarga dengan orang tua tunggal menjadi trend, dan kurangnya hubungan intim dan kasih sayang dalam perkawinan dan keluarga. Bahkan sebagaimana disinyalir oleh Judge L. Bazelon of the US court of appeals in Washington, kriminalitas bukan hanya berhubungan dengan kemiskinan saja, akan tetapi plus prejudice, plus perumahan yang buruk, plus kurangnya pendidikan, plus kurangnya makanan dan kesehatan, serta plus buruknya lingkungan keluarga, atau bahkan tidak punya keluarga sama sekali.

Para ahli keluarga, seperti Barbara Dafoe Whitehead, menyatakan bahwa ketidaksahan (“illegitimacy”) bukan satu-satunya ancaman bagi anak. Dia melihat bahwa budayaAmerika bukan saja budaya dengan ibu yang tidak menikah, tetapi juga bercerai. Fenomena ini menurutnya, adalah hasil dari ideologi kebebasan ekspresif individual yang mengunggulkan aktualisasi diri sendiri dibandingkan kebutuhan anak-anaknya. Patrick Fagan percaya bahwa banyaknya keluarga yang “broken” akan menyebabkan masyarakat menjadi buruk dan sakit, karena dimulai dari cara yang salah atau keliru:

“whenever there is too high a concentration of such broken families in any community, that community will disintegrate. Only so many dysfunctional families can be sustained before the moral and social fabrics of the community itself breaks down. Re-establishment of the basic community code of children within marriage is necessary both for the future happiness of American families and for a reduction in violent crime”

(ditempat dimana banyak keluarga “broken”, disitulah terdapat komunitas yang terpecah. Ada keluarga “tak berfungsi” yang berusaha dipertahankan selama produksi moral dan sosial belum mengalami kehancuran. Penetapan kembali nilai anak dalam pernikahan adalah amat penting baik bagi masa depan kebahagiaan bangsa Amerika maupun upaya penurunan kriminalitas dan kejahatan).

2. Kelemahan Standar Moral

Sementara itu tinjauan agama melihat bahwa manusia terlalu lemah dalam pengendalian emosi dan nafsunya karena tidak lagi memiliki ikatan kuat dengan kekuasaan absolut Tuhan yang supranatural dan tidak diikat oleh kebiasaan baik yang membentengi manusia dari pengaruh kejahatan. Lahirnya paham positivism dengan mengedepankan bukti nyata science hingga bukanlah kebenaran jika tanpa bukti empirik telah menggoyang keyakinan manusia tentang keberadaan moral dan agama, seperti dituliskan oleh Wilson (1993):

"Why has moral discourse become unfashionable or merely partisan? I believe it is because we have learned, either firsthand from intellectuals or secondhand from the pronouncements of people influenced by intellectuals, that morality has no basis in scince or logic. To defend morality is to defend the indefensible".

Beberapa ahli telah menilai bahwa demoralisasi ini berhubungan dengan rendahnya standar moral dan lemahnya penetapan norma baik dan buruk serta benar dan salah dalam masyarakat maju, yang menyebabkan berubahnya cara pandang generasi muda terhadap kehidupan. Misalnya Brooks dan Goble (1997) dalam bukunya :“The case for character education”, yang menyebutkan bahwa gelombang kejahatan tersebut berhubungan erat dengan kurangnya standar moral dalam masyarakat:

“…that the root cause of crime, violence, drug addiction, and other symptoms of irresponsible behavior is, for the most part, the result of inadequate or inaccurate ethical instruction”

Dikatakan oleh Benson dan Engemen dalam bukunya Amoral America yang diterbitkan pada tahun 1975, bahwa ada hubungan erat antara kejahatan dengan kurangnya instruksi moral dan ethic dalam masyarakat Amerika yang menyebabkan terjadinya beragam kekerasan dan kejahatan di Amerika. Telah lama diketahui bahwa Bangsa Amerika telah merubah orientasi pendidikannya kepada pemisahan antara agama dengan pendidikan di sekolah negeri, dimana seperti dikatakan Howard Kirschenbaum (1992) ia juga terlibat dalam penyusunan kurikulum pendidikan moral di Amerika, bahwa pendidikan moral di Amerika telah melarang siswa didik untuk melakukan praktek keagamaan di sekolah umum. Menurutnya, hal ini diterapkan mengingat begitu beragamnya ras dan agama di Amerika (pluralism), sehingga sistem kurikulum di sekolah negeri mengalami kesulitan ketika harus mengajarkan tentang pendidikan moral, karena nilai-nilai luhur siapakah yang harus diajarkan (whose values should be taught?) untuk masyarakat yang sangat heterogen ini.

Kelahiran filsafat positivism yang mendasari kelahiran ilmu pengetahuan (science) telah membuat pemisahan sangat jelas antara fakta (yang dapat dibuktikan dengan ilmiah sehingga disebut kebenaran/the truth) dengan nilai (yang tidak dapat dibuktikan secara ilmiah, sehingga disebut sebagai perasaan/feeling, bukan kebenaran) juga turut mendorong manusia untuk selalu mempertanyakan tentang moral dan nilai yang bersifat abstrak. Kelahiran teori Darwin juga telah merangsang manusia untuk mempertanyakan semua hal, tentang asal mula manusia hidup, siapa yang menciptakan kehidupan, dan darimana asal kehidupan itu. Oleh sebab itu kebenaran moral juga terus dipertanyakan dan moral dianggap sebagai sesuatu yang terus menerus berubah (morality as being in flux) (Lickona, 1994).

Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi memang telah mendorong manusia untuk mempertanyakan tentang kehidupan termasuk nilai dan moral. Dampaknya adalah manusia mulai merasionalisasikan segala sesuatu termasuk nilai dan moral, sehingga sistem pendidikan Amerika yang semula memperhatikan nilai-nilai tradisional pun telah berubah. Sehingga pendekatan yang dilakukan dalam pendidikan moral di Amerika adalah dengan mengajarkan bagaimana menghargai pandangan moral orang lain, dan menjelaskan bahwa tidak ada jawaban benar dan salah dalam setiap permasalahan kehidupan. Pendekatan dengan menampilkan moral dilemma ini menjadikan anak Amerika piawai dalam memutuskan benar dan salah dari sisi pandangan pribadinya (personal point of view).

Salah seorang pencetus values clarification yakni Sidney Simon dari School of Education at the University of Massachusetts, menolak apa yang disebutnya kesalahan fundamental dalam pendekatan tradisional untuk pendidikan moral yakni dengan melakukan indoktrinasi. Karena menurutnya indoktrinasi dalam pendidikan moral tradisional akan menyebabkan siswa didik tidak mampu untuk menjelaskan pilihan keputusannya, dia mengatakan : none of us has the right set of values to pass on to others people's children (Brooks and Goble). Oleh sebab itu dalam pendekatan values clarification para siswa diajarkan tentang ethical relativism dan bagaimana setiap manusia mengembangkan sistem nilainya sendiri-sendiri. Para guru disodori oleh materi permasalahan atau dilema moral yang dirancang sedemikian rupa hingga setiap siswa mampu menemukan nilainya sendiri. Kohlberg juga sejalan dengan Simon dimana ia mengkritik cara pendidikan moral tradisional yang dianggapnya sangat tidak berguna dan totalitarian. Dia mengatakan bahwa pemaksaan nilai tersebut merupakan pelanggaran terhadap kebebasan moral anak (child's moral freedom).

Bangsa Amerika dengan masyarakat yang begitu pluralistik juga telah menyebabkan sistem pendidikannya mengakomodasi beragam keinginan manusia yang sangat heterogen tersebut. Oleh sebab itu pendekatan moral reasoning dan “values clarification” mulai diterapkan dalam pendidikan moral di Amerika sejak tahun 60-an, yang dipelopori oleh sosiolog Louis E. Raths, Merrill Harmin dan Sidney B. Simon. . Mulai periode ini sistem pendidikan Amerika tidak lagi berfungsi membentuk moral dan karakter siswa didik. Sebaliknya siswa didorong untuk tumbuh dan berkembang kebebasannya dengan mengenalkan bahwa tidak ada jawaban benar dan salah dalam kehidupan selama hati nurani menyatakan benar sebagaimana dituliskan Brooks dan Goble:

“values clarification is concerned not with which values people develop but how they develop their values. The approach seeks to promote growth, freedom, and ethical maturity. It start with the recognition that there’s no right or wrong answer to any question of value”

Kilpatrick (1992) menyebutkan bahwa pendekatan moral reasoning telah mengakibatkan ketidakmampuan manusia untuk membedakan baik dan benar karena setiap orang mempunyai pendapat sendiri-sendiri tentang baik dan benar. Anak-anak Amerika telah terbiasa untuk diajarkan tentang kenapa dia melakukan tindakan tersebut dan semua pendapat tersebut harus dihargai baik oleh rekan lain maupun oleh guru. Misalnya ketika seseorang mencuri (shop-lifting) di sebuah supermarket, maka pertanyaan guru kepada muridnya adalah bagaimana pandangan anda terhadap kasus ini?

Generasi muda ini memandang bahwa segala sesuatu itu OK saja selama saya dan kamu juga OK, seperti diilustrasikan Ryan dan Bohlin (1999): “Iam OK and you’re OK, and different strokes for different folks, and that’s OK”. Dengan nilai-nilai kebebasan dan kemerdekaan yang luar biasa ini maka masyarakat Amerika telah berubah drastis selama 3 dekade mulai tahun 60-an hingga tahun 1990-an. Secara tidak langsung pendekatan moral reasoning dan values clarification yang sangat humanis telah merusak otoritas agama dan otoritas orangtua terhadap anak yang selanjutnya meningkatkan demoralisasi atas bangsa Amerika, suatu hal yang sangat tidak diharapkan bahkan oleh salah seorang pencetus pendekatan ini yaitu Howard Kirschenbaum.

PENUTUP

Demoralisasi berkaitan dengan ketidakmampuan manusia untuk mengendalikan ego dan kontrol diri. Kebebasan ekspresi, kemerdekaan individu dan kelahiran paham possitivism menyebabkan manusia senantiasa mempertanyakan kebenaran dari perbuatan baik (the virtues, the goodness and the golden rule). Padahal para filsuf pendidikan seperti Horace Mann dan John Dewey telah meyakini perlunya kebajikan (virtues) dalam mendidik manusia selain pengetahuan (knowledge). Kehancuran institusi keluarga dan lemahnya standar moral dalam keluarga dan masyarakat dianggap sebagai salah satu penyebab utama kejadian demoralisasi. Oleh karena itu dalam pembentukan manusia berkualitas pendidikan karakter amat diperlukan agar manusia bukan hanya mengetahui kebajikan (knowing the good) tetapi juga merasakan (feeling the good), mencintai (loving the good), menginginkan (desiring the good) dan mengerjakan (acting the good) kebajikan. Metode pendidikan melalui otak kiri dengan hafalan konsep (memorization in learning) harus dirubah dengan metode yang lebih menekankan pada otak kanan dengan perasaan, cinta, serta pembiasaan dan amalan kebajikan di dalam keluarga maupun sekolah.

DAFTAR PUSTAKA

Bennet,W.J. 1991. Moral Literacy and the Formation of Character. In: J.S.Bennigna (ed). Moral Character, and Civic Education in the Elementary School. Teachers College Press, New York.

Berkowitz,M.W. 1998. The Education of Complete Moral Person

Brooks,B.D. and F.G.Goble. the Case for Character Education: The Role of the School in Teaching Values and Virtues. Studios 4 Productions.

Boyer,E.L. 1995. Character in the Basic School, Making a Commitment to Character.

Dina,W.F., I.D.Puspita, E.Tanjung,R.Widiastuti. 2001. Laporan Karya Ilmiah Produktif Bidang Sosial. Jurusan GMSK,Faperta, IPB.

Fagan,P.F. 1995. The Real Root Causes of Violent Crime: the Breakdown of Marriage, Family and Community.

Goleman,D. 1995. Emotional Intelligence; Why It Can Matter More than IQ. Bantam Books, New York.

Horn,W.F. 1991. Children and Family in America: Chalange for the 1990s.

Kilpatrick,W. 1992. Why Johny Can’t Tell Right From Wrong. Simon & Schuster, Inc. New York.

Lickona, T. 1992. Educating for Character, How Our Schools Can Teach Respect and Responsibility. Bantam Books, New York.

_________. 1994. Raising Good Children: From Birth Through the Teenage Years. Bantam Books, New York.

Mack,D. 1997. The Assault on Parenthood: How Our Culture Undermine the Family.

Megawangi,R. 1999. Membiarkan Berbeda? Sudut Pandang Baru tentang Relasi Gender. Pustaka Mizan, Bandung.

Neuman,E. 1990. The Child. Shambala Publications,Inc., Massachusetts.

Nord,W.A. and C.C.Haynes. 2002. The Relationship of Religion to moral Education in the Public Schools.

Pickthall,Y.A. 2002. Statistics of Teens. Dikunjungi di: Info@soundvision.com. Pada bulan Oktober 2001.

Rich,D. 1997. Mega Skills, Building Children’s Achievement for the Information Age. Houghton Mifflin Company, New York.

Rohner,R. 1986. The Warmth Dimension of Parenting: Parental Acceptance-Rejection Theory. Sage Publications, California.

Ryan and Bohlin. 1999. Values, Views or Virtues?

Schikendanz,J. 1995. Family Socialization and Academic Achievement. Boston University Press.

Vasta,R., M.M.Haith,S.A.Miller. 1992. Child Psychology: The Modern Science. John Wiley & Sons Inc., New York.

Wade,C. and C.Tavris. 1990. Psychology. Harper & Row Publishers, New York.

Wilson,J.Q. 1993. The Moral Sense. Simon & Schuster Inc,New York.

Wynne,E.A. 1991. Character and Academics in the Elementary School. In J.S. Benigna (ed). Moral Character, and Civic Education in the Elementary School. Teachers College Press, New York.

[+/-] Sangat Diharapkan untuk Dituntaskan...